Semoga dapat menyeimbangkan informasi.
PROPAGANDA ANTI-“ISLAM GARIS KERAS”
(Kritik untuk Buku “Ilusi Negara Islam”)
Oleh: Sapto Waluyo
(Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform)*
Seorang tokoh kharismatik dari pelosok desa Buduran, Bangkalan, K.H. Amjad al-Munawwir, berkunjung ke rumah dinas Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid (HNW), suatu malam. Tidak tanggung-tangung, pimpinan pesantren Al-Muhajirin itu membawa serta isteri, anak dan keluarga besarnya yang tinggal di Jakarta. Mereka mengendarai tiga mobil berisi penuh penumpang dari kawasan Tanjung Priok menuju kompleks Widya Chandra hanya dengan satu tujuan untuk menanyakan langsung: apa benar mantan Presiden PKS itu menganut paham Wahabiyah?
Hidayat menjawab dengan tenang seperti pertanyaan serupa yang diterimanya lewat SMS, email atau posting Facebook, bahwa kaum Wahabi mengharamkan partai politik. Sedangkan, ia pernah menjadi pendiri dan ketua partai. Jadi, nggak nyambung lah nyaw, kata anak muda zaman sekarang. Kiai Amjad yang menjadi tempat bertanya Abdurrahman Wahid di masa sulit itu terpesona
mendengar penjelasan Hidayat soal peringatan Maulid Nabi Saw di kantor DPP PKS (11/3/2009). Pada acara tersebut turut hadir K.H. Zainuddin MZ dan Habib Mundzir al-Musawwa. Bahkan, saat terkena musibah meninggalnya isteri tercinta, Hidayat mendapat kunjungan dari berbagai tokoh ormas, termasuk dari Nahdlatul Ulama (KH Nur Iskandar SQ), untuk membacakan doa dan tahlil dalam rangka takziyah.
“Pak Hidayat, saya percaya semua yang dikatakan itu benar. Tidak seperti isu yang beredar selama ini. Karena itu, saya dukung 100% apabila pak Hidayat nanti menjadi pemimpin di Indonesia,” ujar Kiai Amjad spontan. Sebagai penguat dukungannya, kiai nyentrik asal Madura itu membacakan doa yang diamini belasan tamu. Kehadiran kiai kampung yang amat berpengaruh itu seakan mewakili ratusan kiai dan tokoh Madura dan Jawa Timur yang beraspirasi sama. Sebelumnya, pada akhir masa kampanye pemilu (5/4/2009), Hidayat diundang khusus silaturahim akbar di Ponpes Al-Muhajirin, Bangkalan yang diikuti 2000 santri dan warga setempat. Tidak tanggung-tanggung, lima orang kiai dari Bangkalan, Sampang dan Pamekasan membacakan doa secara
berturut-turut untuk keselamatan umat, kemajuan bangsa dan hadirnya kepemimpinan nasional baru yang berintegritas. Banyak saksi mata di daerah lain dengan beragam latar-belakang membuktikan akseptabilitas yang tinggi dari tokoh partai yang lahir di era reformasi (PKS).
Tak aneh, bila berbagai lembaga survei (LP3ES, Puskaptis UI, dan LRI) menampilkan kans calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan semakin besar bila berpasangan dengan Hidayat, jauh meninggalkan posisi cawapres lain. Jika SBY akhirnya lebih memilih Boediono sebagai pendampingnya, maka itu benar-benar kalkulasi politis, bukan berdasarkan aspirasi rakyat yang tercermin dalam survei atau sikap spontanitas semisal Kiai Amjad.
*Delusi Kaum Moderat*
Karena itu, sungguh mengejutkan simpulan riset yang baru-baru ini dipublikasikan dalam buku “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia” (2009). Secara ringkas, buku itu berkesimpulan PKS adalah salah satu “kaki tangan gerakan Islam transnasional” yang menjadi ancaman bagi kelestarian Dasar Negara Pancasila dan keutuhan Negara Kesatuan
RI. Buku ini penting karena merupakan hasil riset selama dua tahun di 24 kota di Indonesia. Editornya adalah KH Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI dan Ketua Umum PBNU), dengan prolog Prof. A. Syafii Ma’arif (mantan Ketua PP Muhammadiyah) dan epilog KH Mustofa Bisri (pimpinan ponpes Raudlatut Thalibin, Rembang). Penerbitnya, kolaborasi The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika dan Maarif Institute yang disponsori LibforAll Foundation (organisasi nirlaba bentukan warga Amerika Serikat, C. Holland Taylor).
Sayang sekali, sebuah riset serius yang tentu berbiaya mahal ternyata tak bisa menangkap fenomena sosial kontemporer secara jernih. Hasilnya, semacam propaganda untuk memvonis kelompok masyarakat yang berbeda pandangan. Simpulan dan rekomendasi buku ini tampaknya ikut mewarnai tarik-menarik kekuatan selama kampanye pemilu, bahkan turut mempengaruhi mulus-tidaknya nominasi kandidat capres/cawapres. Seperti diketahui, nama HNW sempat menguat sebagai pendamping SBY. Namun, Tim 9 dari Partai Demokrat ragu karena banyaknya masukan negatif soal HNW dan PKS yang diisukan Wahabi. Bahkan, organisasi Ittihadul Muballighin terang-terangan menolak cawapres dari kalangan Wahabi, walau tidak menyebut nama secara terbuka. Apakah SBY benar mengadopsi rekomendasi buku ini, tatkala menentukan cawapresnya?
Harap dicatat, substansi buku ini sebenarnya telah dilansir dalam jumpa pers di awal April 2009, sebelum hari pemilu. Bab pengantar, prolog dan epilognya telah beredar luas dalam edisi bahasa Inggris di media internet. Kalangan masyarakat terdidik dan pemilih yang kritis (critical mass) telah mengkonsumsinya jauh sebelum hari pencontrengan. Usai pemilu, buku ini diluncurkan resmi dan disebarkan ke empat Negara (Arab Saudi, Turki, Inggris dan Amerika Serikat). Sebuah target propaganda yang benar-benar ambisius.
Kelemahan mendasar dari buku ini, gagal mendefinisikan “Gerakan Islam Transnasional” dan mengapa sejumlah organisasi yang berbeda social origin-nya bisa dikategorikan “kaki tangan”-nya di Indonesia? Dengan semangat gebyah-uyah, penulis dan periset buku menyamakan kategori sosial: paham keagamaan (Wahabisme), gerakan pembaharuan (Ikhwanul Muslimin), organisasi massa (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia) dan partai politik (PKS dan PBB). Bahkan, lebih dahsyat lagi semua gejala sosial itu disatukotakkan dengan gerakan bawah tanah hasil rekayasa intelijen, Jemaah Islamiyah (JI). Mereka semua dijadikan satu kategori “Islam garis keras” (hardliners), yang menganut absolutisme pemahaman agama dan membenarkan penggunaan cara kekerasan terhadap kelompok yang berbeda keyakinan.
Definisi operasional dan metodologi yang kabur itu menunjukkan bahwa penulis/periset tidak bisa membedakan (different), sebagai misal perbandingan: sapi dengan kerbau, meski masih satu keluarga (mamalia) dalam dunia fauna. Apalagi memisahkan (disparate) sapi dengan ular atau buaya yang berbeda famili (reptilia buas). Tiap kelompok sosial (komunitas relijius, organisasi sosial, asosiasi profesi, atau partai politik) memiliki karakter masing-masing, tak bisa disamakan begitu saja, kecuali dapat dibuktikan memiliki ikatan ideologis dan struktural-organisa sional. Siapa yang bisa membuktikan bahwa gerakan Ikhwan memiliki cabang di Indonesia? Mungkin Imam Besar Ikhwanul Muslimin Indonesia, Habib Husein al-Habsyi yang bisa menjawabnya. Yang sudah pasti, DDII, FPI, dan MMI tidak menjadi onderbouw organisasi manapun. Mungkin hanya HTI yang secara terang menyebut afiliasi dengan organisasi sejenis di tingkat dunia. Sudah pasti pula, semua organisasi yang disebut tadi sama sekali tak ada kaitannya dengan JI yang dikategorikan organisasi teroris lintas Negara.
Simpulan sembrono itu ternyata berasal dari pernyataan mantan wartawan Far Eastern Economic Review yang mengaku-aku sebagai pengamat gerakan Islam, Sadanand Dhume. “Hanya ada pemikiran kecil yang membedakan PKS dengan JI. Seperti JI, manifesto pendirian PKS adalah untuk memperjuangkan Khilafah Islamiyah. Seperti JI, PKS menyimpan rahasia sebagai prinsip
pengorganisasiannya , yang dilaksanakan dengan sistem sel yang keduanya pinjam dari Ikhwanul Muslimin… Bedanya, JI bersifat revolusioner, sementara PKS bersifat evolusioner. Dengan bom-bom bunuh dirinya, JI menempatkan diri melawan pemerintah, tapi JI tidak mungkin menang. Sebaliknya, PKS menggunakan posisinya di parlemen dan jaringan kadernya yang terus menjalar untuk memperjuangkan tujuan yang sama selangkah demi selangkah, dan suara demi suara… Akhirnya, bangsa Indonesia sendiri yang akan memutuskan masa depannya akan sama dengan Negara-negara Asia Tenggara lainnya, atau ikut gerakan yang berorientasi ke masa lalu dengan jubah fundamentalisme keagamaan. PKS terus berjalan. Seberapa jauh ia berhasil akan mempengaruhi masa depan Indonesia.” (2009: 27, sebagaimana dikutip dari FEER, Mei 2007).
Ini sebuah tuduhan serius, dan bisa berefek pembubaran organisasi, apabila pendapat Dhume dibuktikan benar. Jika asal bicara, maka Dhume perlu diperiksa, karena sering bolak-balik berkunjung ke Indonesia. Apakah penulis/periset buku memiliki pandangan yang sama dengan Dhume? Sungguh menyedihkan, sebuah partai peserta pemilu (PKS) yang menempati ranking
keempat dalam percaturan politik nasional 2009 dan memiliki 8,2 juta pengikut masih disalahpahami sebagai metamorfosis organisasi teroris. Apa yang salah dengan interaksi sosial di antara komponen bangsa ini, sehingga organisasi keagamaan yang sudah lama eksis (NU dan Muhammadiyah) merasa terancam dengan kehadiran entitas politik baru (PKS)?
Dalam buku itu tertangkap nuansa delusi (khayalan tentang kebanggaan yang terancam), seperti pengaruh organisasi sebesar NU yang mulai tergeser oleh pendatang baru. Publik melihat posisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam pemilu 2009 merosot ke peringkat ketujuh dengan raihan suara 5.146.122 pemilih (4,94%). PKB selama ini dipercaya sebagai salah satu representasi
politik warga NU, sementara partai lainnya tidak lolos parliamentary threshold. ‘Pergeseran’ politis itu akhirnya dipersepsikan sebagai ancaman terhadap eksistensi organisasi atau bangsa, seperti tersurat: “Meski ancaman garis keras itu semula tertuju kepada paham dan eksistensi NU, namun NU menganggap itu merupakan ancaman terhadap bangsa dan Negara. Sebab tradisi
keberagamaan NU merupakan amal keagamaan yang dipraktikkan oleh mayoritas umat Islam Indonesia, sehingga secara ringkas bisa dikatakan bahwa warga NU dan bangsa Indonesia merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.” (2009: 197).
Padahal, jika kita perhatikan dengan lebih teliti Keputusan Majelis Bahtsul Masa’il NU tentang khilafah dan formalisasi syariah (November 2007), memang dinyatakan “tidak ada dalil nash” untuk keharusan pembakuan khilafah dalam sistem ketatanegaraan Islam, “karena keberadaan sistem khilafah adalah bentuk ijtihadiyah”. Jelas sekali, NU tidak menafikan atau mengharamkan
sistem khilafah, tetapi memandangnya sebagai domain akal manusia (ijtihad), bukan doktrin teologis. Dalam majelis yang sama diputuskan, bahwa hukum mengubah bentuk Negara Indonesia dengan bentuk yang lain, maka “hukumnya tidak boleh selama menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar”. Sedangkan mengubah dasar hukum Negara juga “tidak diperbolehkan jika
menggunakan cara yang inkonstitusional, dan DIPERBOLEHKAN jika menggunakan cara yang konstitusional”. Sekali lagi jelas, NU tidak mengharamkan perubahan/amandemen UUD, asal demi kemaslahatan dan ditempuh prosedur konstitusional. Termasuk dalam soal penerapan syariah Islam di Indonesia, NU menyetujui strategi tadrij (gradual) dan metoda substantif, berbeda misalnya dengan HTI yang menempuh cara frontal-revolusione r.
Dalam konteks ini, penulis/periset mengabaikan suatu hal fundamental, PKS tidak pernah menyebut sistem khilafah dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga atau Falsafah Dasar/Platform Kebijakannya sebagaimana dituduhkan Sadanand Dhume. Yang dicitakan PKS adalah “Terwujudnya masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang diridhail Allah Swt dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia” (AD PKS, Pasal 5 ayat 2). Soal penerapan syariah Islam di Indonesia diterangkan PKS dalam platform kebijakan bidang hukum dan HAM, karena ada tuntutan publik untuk melakukan revisi KUHP warisan kolonial Belanda yang telah ketinggalan zaman. Menurut Azyumardi Azra, PKS telah melakukan inisiatif penting dengan obyektifikasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan Indonesia modern dan merumuskan cita-citanya sebagai “religious-based civil society”. Tak ada radikalisasi atau hipokrisi (hidden agenda) dalam hal itu, karena semua partai yang berbasiskan nilai agama atau sekulerisme harus berhadapan dengan realitas sosialnya masing-masing. Dengan segala fakta itu. Apakah tepat menyebut PKS sebagai ancaman nasional? Tim periset harus berhati-hati, apalagi jika merasa mewakili pandangan resmi organisasi NU, karena dapat mengecilkan posisi NU sendiri yang terkesan tidak bisa menerima dinamika politik nasional.
Demikian pula simpulan tentang pengaruh PKS terhadap warga Muhammdiyah bisa menyebabkan “…bangsa Indonesia tidak hanya kehilangan salah satu aset kultural ormas moderatnya dan mungkin Muhammadiyah akan menjadi salah satu bungker baru gerakan garis keras di Indonesia, bangsa Indonesia juga akan kehilangan salah satu soko guru Pancasila, UUD 1945, dan NKRI” (2009: 189), sangat mengada-ada. Dalam tubuh Muhammadiyah, kita tahu ada partai lain yang lebih berpengaruh yaitu Partai Amanat Nasional yang didirikan Amien Rais (mantan Ketua PP Muhammadiyah) . Tapi, sayang PAN dinilai tak mengakomodasi aspirasi politik warga Muhammadiyah, sehingga muncul partai baru, Partai Matahari Bangsa (PMB) yang mengajukan Din Syamsuddin (Ketua PP Muhammadiyah saat ini) sebagai calon presiden. Dalam hal ini, pengaruh PKS tidak lebih besar dibanding PAN dan PMB yang bersaing untuk memperebutkan suara warga Muhammadiyah. Hasil survei LSI pasca pemilu 2009 juga membuktikan gejala itu.
Dalam Surat Keputusan PP Muhammadiyah tertanggal 1 Desember 2006 dinyatakan, “Segenap anggota Muhammadiyah perlu menyadari, memahami, dan bersikap kritis bahwa SELURUH partai politik di negeri ini, termasuk partai politik yang mengklaim atau mengembangkan sayap/kegiatan dakwah SEPERTI Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah benar-benar partai politik. Setiap partai politik berorientasi meraih kekuasaan politik. Karena itu, dalam menghadapi partai politik manapun kita harus tetap berpijak pada Khittah Muhammadiyah…” (2009: 241). Jadi, yang harus dikritisi warga Muhammadiyah adalah seluruh partai dan PKS hanya salah satu contohnya. Mengapa PAN tidak disebut dalam SK itu, dan juga PMB yang baru lahir pada 8 Januari 2006? Di sini ada masalah kalkulasi politik untuk mendiskreditkan pihak tertentu saja.
*Perlu Dialog Nasional*
Inilah pelajaran berharga bagi elite PKS yang selama ini suntuk dengan politik praktis dan ternyata belum berhasil membangun basis sosial yang kokoh. Setelah tiga kali berpartisipasi dalam pemilu, kemudian menerbitkan dokumen resmi Falsafah Dasar Perjuangan (2007) dan Platform Kebijakan Pembangunan (2008), ternyata bukan simpati yang berhasil dipanen, tapi antipati sebagian kalangan. Dengan sikap dan perilaku elite PKS yang tak terkontrol mungkin kesalahpahaman akan bertambah luas, bahkan tidak mustahil berkembang jadi fobia. Kita perlu mencegah hal ini agar kancah politik nasional tidak mengalami setback ke masa pertikaian ideologis.
Dengan segala kelemahan fatalnya, buku itu tak perlu diberangus. Biarlah masyarakat yang akan menilainya. Sebuah forum terbuka (Dialog Nasional) perlu digelar untuk menghadirkan semua pihak yang disebut penulis sebagai kelompok garis keras dan moderat. Salah satu topik yang perlu dikaji: apakah Islam itu “agama lokal” dan karenanya hanya “gerakan Islam lokal” yang
berhak hidup di Indonesia? Apakah “Gerakan Islam Transnasional” itu benar-benar ancaman bagi eksistensi bangsa Indonesia? Apakah aqidah “Ahlus Sunnah wal Jamaah” itu produk asli Indonesia atau ditransmisi dari wilayah/sejarah lain?
Pertanyaan serumit itu tak diambil pusing Kiai Amjad yang polos. Suatu hari salah seorang muridnya bercerita tentang Syeikh Ahmad Khatib (1803-1872), seorang ulama asal daerah Sambas yang menjadi Imam di Masjidil Haram Mekah dan memimpin perkumpulan Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah di Indonesia. Ahmad Khatib adalah guru dari KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH Hasyim Asyari (pendiri NU). Saat itu, semangat mencari ilmu telah mempersatukan para perintis dakwah. Khatib sendiri berguru kepada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani (asal Thailand selatan), Syeikh Abdus Shomad al-Palimbani (asli Palembang) dan Syeikh Abdul Hafidz al-Ajami serta Ahmad al-Marzuqi al-Makki al-Maliki dari Timur Tengah. Seorang guru yang berwatak transnasional. Hal itu tampak pula pada sosok kiai kampung seperti Kiai Amjad, yang terbukti tak alergi dengan perbedaan pandangan. Ia bisa bersahabat dengan siapa saja yang memiliki tujuan sama untuk mensejahterakan umat dan bangsa.***
Labels: buku, islam
Read more..!